2009/07/21

PTN Bukan Lagi Sekolah Murah

21 Juli 2009


TINGGINYA biaya pendidikan di kampus-kampus negeri sedikit banyak menggeser paradigma masyarakat bahwa

kuliah tidak lagi harus di PTN.


Menurut Kepala Humas Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Nasrullah SSos MSi, semenjak kuartal 2005 pola pikir masyarakat mulai berubah, bahwa perguruan tinggi swasta sama baiknya dengan PTN. Apalagi sekarang biaya kuliah di PTS tak jauh berbeda dari PTN. Bahkan beberapa jurusan di PTS biaya masuknya lebih murah.


Misalnya untuk jurusan psikologi UMM calon mahasiswa harus membayar Rp 8,450 juta. Sedangkan di Universitas Brawijaya (UB) Rp 12.135 juta dan Unair Rp 17,5 juta. “Namun, penyebabnya bukan hanya besarnya biaya pendidikan di PTN. Tapi, masyarakat mulai berpikiran terbuka, bahwa beberapa PTS punya kualitas yang sama baik dengan PTN,” ujar Nasrullah.


Parameternya, adalah jumlah peminat UMM yang terus berkembang tiap tahun. Ada lebih dari 1.800 pendaftar yang gagal masuk UMM karena harus bersaing ketat masuk kampus di perbatasan Kota Malang dan Dau ini. “Catatan kami tahun ini, 2.000 mahasiswa masuk UMM tanpa mendaftar PTN. Itu sedikit banyak menunjukkan, bagaimana masyarakat sudah lagi tak tergila-gila masuk PTN,” ungkapnya.


Menurut Nasrullah, masyarakat seharusnya tidak keburu memandang PTN lebih baik. “Bandingkan dulu secara fair. Kalau akreditasi kami sama dengan PTN, itu artinya kualitas kami sama,” kata dosen ilmu komunikasi ini.


Pernyataan berbeda disampaikan Ketua Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru Ubaya Budi Hartanto ST MSc. Menurutnya baik PTS maupun PTN sekarang ini berlombalomba memberikan yang terbaik bagi calon mahasiswa. Hanya cara yang digunakan masing-masing perguruan tinggi berbeda.


“Untuk tetap menjadi salah satu universitas swasta favorit, Ubaya terus melakukan pembenahan dan peningkatan mutu,” katanya.


Sementara Humas UPN Veteran Surabaya Dra Diana Amalia MSi menuturkan saat ini pihaknya tidak ambil pusing dengan besarnya biaya perkuliahan di PTN. Karena UPN memosisikan diri membantu dan tidak membebani calon mahasiswa dengan biaya yang mencekik.


“Saingan UPN bukan lagi PTS saja, tapi juga yang negeri. Dan untuk mengatasinya, UPN terus melakukan program dengan jalan memberi keringanan bagi para mahasiswa golongan I, mereka merupakan keluarga dari TNI, PNS, Dephan. Tapi juga tidak membebani golongan II (umum) dengan biaya yang besar. Selisih antara golongan I dan II tidak terlalu jauh,” jelas Diana.


Misalnya saja untuk jurusan komunikasi, UPN hanya mematok Rp 7 juta untuk gelombang II jalur umum. Sedangkan komunikasi Unair untuk jalur PMDK umum calon mahasiswa baru harus menyumbang minimal Rp 12 juta.



Dikutip dari harian SURYA - Selasa, 21 Juli 2009

Kuliah Mahal Siapa Mau?


Banyak Jalur Banyak Biaya

21 Juli 2009


“Maunya Si Tole masuk kedokteran. Tapi saya berpikir ulang memasukkannya, sumbangannya begitu besar, apa mampu kami?” ujar seorang ibu. “Nggak apa-apa Jeng. Sumbangan besar, kalau sudah jadi dokter, sekali periksa pasien berapa?”


Dialog itu meluncur di sebuah pertemuan arisan ibu-ibu. Masalah pendidikan kini membuat para orangtua pusing. Jika dulu anak berotak cemerlang, mau memilih jurusan apapun di perguruan tinggi negeri (PTN) manapun tidak soal. Asal bias lolos tes masuk, biaya ringan.


Sejak munculnya BHP (Badan Hukum Pendidikan), PTN seperti leluasa menghimpun dana, termasuk dari penerimaan mahasiswa baru di luar jalur resmi. Selain ada SNMPTN, yaitu tes masuk PTN resmi dari pemerintah, PTN juga menyelenggarakan tes masuk sendiri yang namanya bermacammacam. Misalnya, Universitas Airlangga (Unair) memakai nama tes PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), Universitas Brawijaya (UB) Malang SPMK (Seleksi Program Minat dan Kemampuan), dan Universitas Jember (Unej) dengan PMDK dan UM-Unej (Ujian Masuk Unej).


Tes masuk jalur ini sudah digelar jauh sebelum SNMPTN dilaksanakan, bahkan ada yang dibuka sebelum pengumuman Unas SMA/SMK. Tes dilaksanakan melalui beberapa gelombang. Gelombang terakhir dilaksanakan menjelang pengumuman SNMPTN. Peserta jalur non-SNMPTN ini harus menyumbang yang jumlahnya bervariasi. Di Unair misalnya, sumbangan yang disebut SP3 (Sumbangan Pembinaan dan Peningkatan Mutu Pendidikan) berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 150 juta. SP3 untuk pendidikan kedokteran umum di Unair merupakan ‘rekor’ sumbangan minimal tertinggi untuk PTN di Jatim.


Sementara di Universitas Brawijaya (UB) Malang, kedokteran umum juga menempati ranking teratas dengan Sumbangan Pengembangan Institusi Pendidikan (SPIP) minimal Rp 125 juta. Pendidikan yang sama di Universitas Negeri Jember (Unej) lebih murah lagi, hanya Rp 75 juta.


ITS Surabaya sebagai satusatunya lembaga tinggi bidang engineering, juga menerapkan sistem sumbangan pada pemerimaan mahasiswa barunya, meskipun biayanya tidak terlalu tinggi seperti Unair. ‘Hanya’ berkisar Rp 30 – 45 juta saja. Setiap calon mahasiswa ketika mendaftar harus mengisi besarnya biaya sumbangan yang akan dibayar, dengan jumlah minimal yang sudah ditentukan. Saat mereka dinyatakan lolos tes, mereka harus membayar lunas sumbangan tersebut beserta biaya-biaya lainnya.


Mengapa biaya menuntut ilmu di lembaga pendidikan milik pemerintah begitu mahal? Ketua Pusat Penerimaan Mahasiswa Baru Unair, Soebianto Soegeng mengatakan, SP3 ditetapkan berdasarkan kebutuhan masing-masing fakultas. “Semua sudah melalui persetujuan senat dan pimpinan universitas,” ujar Soebianto.


Meskipun demikian, besarnya SP3 yang sanggup dibayarkan calon mahasiswa tidak mempengaruhi peluang diterimanya calon mahasiswa. Berpengaruh atau tidak sumbangan terhadap peluang lolos tes, para calon mahasiswa yang ingin mengadu nasib di jalur ini, peminatnya cukup banyak.


Dikutip dari harian SURYA - Selasa, 21 Juli 2009

Miskin Dilarang Sekolah

Selasa, 21 Juli 2009

KETUA Dewan Pendidikan Jatim Prof Dr Zainuddin Maliki menilai tingginya biaya kuliah merupakan dampak dari privatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Dengan BHP ini, PTN harus mengelola sendiri sumber daya yang dimiliki. Karena subsidi dari pemerintah tidak lagi diberikan secara penuh. Hanya biaya investasi dan gaji dosen saja yang masih disubsidi pemerintah. “Makanya tak heran kalau biaya kuliah di PTN saat ini lebih mahal dari PTS,” ujarnya, Jumat (17/7).

Bahkan biaya kuliah di PTN makin melambung tinggi ketika perguruan tinggi menerapkan hukum pasar, setelah tingginya animo calon mahasiswa untuk masuk dan di terima di PTN. Akibatnya hanya calon mahasiswa kaya saja yang dapat kuliah. Calon mahasiswa miskin tersingkir. Sebagaimana dijelaskan dalam teori Darwinisme sosial, bahwa yang dapat bertahan adalah yang kuat.

Mahalnya biaya kuliah itu membuat kesempatan masyarakat miskin mengenyam pendidikan tinggi sangat kecil. Ini menjadi sebuah ironi, ketika orang miskin di negeri ini jumlahnya lebih dari 15 persen. “Makanya ada pernyataan bahwa orang miskin di negeri ini dilarang sekolah dan pandai,” tegasnya.

Agar masyarakat punya peluang yang sama untuk menikmati pendidikan tinggi, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) ini, pemerintah harus menerapkan beberapa langkah. Pertama meningkatkan daya beli masyarakat. Tidak membuat kebijakan yang memicu turunnya daya beli sehingga membuat ekonomi masyarakat kecil makin kedodoran.

Kedua, membuat skema pemberian bea siswa atau bantuan pendidikan untuk mahasiswa dari keluarga miskin। Namun beasiswa itu jangan dikaitkan dengan prestasi. Sebab, orang miskin yang cerdas jumlahnya hanya 10 persen. “Saat ini untuk jadi pintar butuh biaya. Dan yang dapat melakukan itu hanya orang kaya saja. Dalam kondisi inilah, negara harus menyediakan anggaran sosial untuk menggratiskan biaya pendidikan bagi warga negara,” tukasnya


dikutip dari harian SURYA - Selasa, 21 juli 09