2009/06/19

Upah Dipotong Agency, Makan Ambil Jatah Kantor


Berniat mencari ilmu dan pengalaman di Singapura, mahasiswa asal SurabayaFebi Defiani harus hidup nelangsa. Berikut laporan wartawan Jawa PosASTANTO AL BUDIMAN yang belum lama ini menemui Febi cs di pondokannya di Singapura.

SORE itu di sebuah kos-kosan berlantai empat di kawasan Geylang, Singapura,Jawa Posmenemui Febi Defiani. Mahasiswa asal Surabaya tersebut sudah limabulan mengikuti program magang di sebuah restoran di Bukit Datok, cukup jauh dari kosnya. Untuk pergi-pulang ke tempat kerja, dia harus menggunakan keretaSMRT.

Di Resto Pastamania itu, cewek 21 tahun tersebut magang (bekerja) sebagai pramusaji. Program magang itu merupakan bagian program studinya di Akademi Pariwisata Group Studi dan Pelatihan International (GSP International) Surabaya. Dia tinggal sebulan lagi menyelesaikan program magang enam bulan tersebut.

Tapi, bukannya pengalaman manis dan ilmu yang didapatkan selama lima bulan tinggal di negeri jiran. Febi mengaku selama itu dirinya harus bekerja keras agar bisa bertahan hidup di perantauan. ’’Padahal, kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk mengikuti program ini. Janjinya juga banyak yang tidak sesuai dengan kondisi di sini,’’ ujarnya.

Untuk mengikuti program magang di Singapura tersebut, Febi harus mengeluarkan uang Rp 6 juta. Uang itu digunakan untuk pengurusan paspor, fiskal, dan tiket pesawat Surabaya–Batam (dilanjutkan menyeberang ke Singapura menggunakan feri). Pemondokan selama tinggal di Singapura ditanggung agency yang akan menyalurkan mahasiswa ke tempat magang.

’’Sebenarnya bukan ditanggung agency, melainkan dipotongkan dari upah saya bekerja,’’ tutur mahasiswi yang tinggal di kawasan Juanda tersebut. Menurut Febi, program magang itu tidak layak disebut pendidikan. ’’Bilang saja sejak dulu kalau kita mau dipekerjakan,’’ ujarnya dengan nada tinggi.

Dia menilai, program magang yang digagas kampusnya (GSP-International) itu merupakan sebuah penipuan ketenagakerjaan. Sebab, kata Febi, materi magang yang dia terima tidak seperti yang dijanjikan sebelum berangkat lima bulan silam. ’’Izin masuk ke Singapura saja, kami harus bohong dengan tujuan wisata,’’ tegasnya.

Di tempat kerja, Febi benar-benar merasa nelangsa. Sebab, dia ternyata dipekerjakan sebagai pramusaji alias pelayan di sebuah kafe/restoran.

Apalagi, jarak antara tempat kos dengan tempat kerja cukup jauh. Dia harus naik kereta SMRT pergi-pulang. ’’Ongkosnya bayar sendiri. Ya lumayan, 4 dolar Singapura PP. Paling mahal dibanding ongkos teman-teman,’’ ungkapnya.

Belum lagi biaya makan dan tetek-bengek lainnya yang tidak sedikit. ’’Pokoknya, upah sebulan saya habis,’’ tambahnya.

Sebulan, Febi mendapat upah 950 dolar Singapura. Namun, setiap gajian, sudah dipotong 600 dolar oleh agency untuk membayar kos-kosan. Sisanya untuk hidup dengan kondisi pas-pasan. Di antaranya, 168 dolar untuk transportasi ke tempat kerja. Untuk makan, Febi menggantungkan jatah dari kantornya. Hanya, sesekali dia membeli mi instant untuk makan malam di kos-kosan.

’’Untuk minum saja, saya harus ambil air di tempat kerja untuk saya bawa pulang. Kalau tidak begitu, pengeluaran saya bias tambah banyak,’’ ujarnya. ’’Terus terang, sampai saat ini saya belum bisa menabung karena memang tidak ada yang bisa ditabung,’’ imbuhnya.

Febi tidak berani bertanya kepada agency-nya soal ketidakberesan yang dirasakan itu. Sebab, untuk setiap pertanyaan yang bernada protes, agency akan mendenda peserta program. Selain itu, denda diberikan kepada penghuni kos-kosan yang melanggar aturan. ’’Dendanya sekitar 50 dolar Singapura. Untungnya, saya belum pernah kena denda,’’ paparnya.

Dia menyesalkan senior-seniornya di GSP yang tidak pernah bercerita tentang realitas program magang di Singapura tersebut. ’’Apa mereka tidak punya perasaanya?’’ ujarnya.

Di kos-kosan’ yang kumuh dengan dua tong sampah besar penuh sampah di dalam ruangan, Jawa Pos juga bertemu enam mahasiswa dari perguruan tinggi berbeda. Mereka adalah Noval Tridianto dari Cilacap, Ninik Sri Lestari (Jogja), Jamalludin Bashori (Madura), Ida Bagus Ade Prayoga Sandhi (Bali), I Kadek Dody Darwin (Bali), dan Utaminingrum (Jogja).

Mereka juga peserta program magang seperti yang dilakoni Febi. Di Singapura, mereka berkumpul di bawah koordinasi agency yang sama: Simons Agency.

’’Total di kos-kosan ini, tinggal 24 mahasiswa Indonesia,’’ ujar Uut, sapaan akrab Utaminingrum.

Seperti halnya Febi, Uut juga merasakan kekecewaan menjalani program magang itu. Misalnya, soal gaji yang sudah dipotong agency. ’’Saya merasa tertipu. Suakit hati ini,’’ ujarnya lantas memeluk temannya, Ninik Sri Lestari, dengan mata berkaca-kaca.

Uut menunjukkan kontrak kerjanya. Di kontrak kerja itu tertulis bahwa dia berhak menerima gaji 950 dolar Singapura. Kenyataannya, dia hanya menerima 350 dolar. ’’Semua anak di sini terima 350 dolar,’’ ujar mahasiswi asal Jogjakarta tersebut.

’’Itu sangat berbeda dari tempat saya magang di Malaysia tahun lalu,’’ imbuh perempuan berkulit putih tersebut.

Sementara itu, Rabu (8/4), Jawa Pos mengonfirmasi ke Kampus GSP International di kawasan Basuki Rahmat Surabaya soal kondisi mahasiswanya yang menjadi peserta program magang di Singapura. Lembaga yang didirikan pada 2000 tersebut berada di lantai dua Gedung Gelael, samping Tunjungan Plaza. GSP berpusat diJakarta dan memiliki cabang di beberapa daerah. Di antaranya di Tangerang, Surabaya, Bali, Malang, dan Jogjakarta.

Menurut Saiful, salah seorang staff manajemen GSP, mahasiswa GSP International sebenarnya tidak diwajibkan mengikuti magang di luar negeri. ’’Keluar negeri atau tidak, itu pilihan si mahasiswa,’’ ujarnya.

Namun, kata dia, nilai sertifikat luar negeri akan berbeda dibanding yang di dalam negeri. Untuk magang ke luar negeri, mahasiswa diwajibkan membayar biaya transportasi Rp 4 juta–Rp 5 juta untuk berangkat ke Singapura. ’’Kami punyaagency atau semacam lembaga outsourcing di sana,’’ ujarnya. ’’Agency itulah yang mengatur tempat tinggal dan di mana mahasiswa magang,’’ jelas anggota tim program magang di Singapura itu.

Dia menjelaskan, selama proses magang di Singapura, setiap mahasiswa akan mendapatkan gaji 350 dolar. Jika dikurskan dalam rupiah, jumlah uang dolar Singapura itu memang terlihat besar, sekitar Rp 2 juta. Namun, jika untuk biaya hidup di sana, uang itu jadi sangat kecil.

Saat dijelaskan bahwa gaji 350 dolar itu tidak cukup untuk hidup di Singapura, Saiful menjawab, ’’Ya mereka harus mencari tambahan dengan overtime(melembur, Red).’’ Saat ditanya apakah ada pengawas GSP International di Singapura? Saiful menjawab, ’’Semua sudah ditangani agency di sana.’’ (*/ari)

- Waspadai janji-janji manis yang bersifat jebakan !!!

- Hati-hati sekolah yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan mahasiswa


Di Kutip dari Harian Jawapos, Minggu 12 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar