2009/06/19

50% SARJANA DI JATIM NGANGGUR


SIDOARJO (SINDO) – Pendidikan tinggi ternyata bukan jaminan bisa mendapatkan kerja. Data statistik di Jatim ini buktinya.


Di wilayah paling timur Pulau Jawa ini, 50% dari 450.000 sarjana dan diploma berbagai disiplin ilmu masih nganggur.Mereka luntang-luntung tanpa pekerjaan karena tak kompeten meski bertitel. Sampai akhir September, secara keseluruhan pengangguran di Jatim mencapai 1.255.000 orang.


Yang mendominasi adalah lulusan SMP dan SMA. Besarnya 48%. Sedangkan sarjana yang luntang-lantung hanya 9%, sisanya lulusan SD dan tidak sekolah. Memang, secara keseluruhan, persentase pengangguran bertitel di Jatim menempati angka terendah dari seluruh lulusan jenjang pendidikan yang sama-sama nganggur.


Itu bukti bahwa banyak sarjana yang tidak piawai menerapkan ilmu mereka di dunia kerja. Mereka tidak kompeten. Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno, banyaknya sarjana menganggur bukan karena peluang kerja yang tidak ada.


Peluang banyak, tapi para cendekiawan muda itu tidak punya kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja. Selama menempuh pendidikan, mereka hanya mengenyam mata kuliah mentah-mentah, tanpa berusaha mencari tahu seperti apa tuntutan dunia kerja saat ini.


”Setelah saya evaluasi, dari serangkaian bursa kerja yang digelar tiap tiga bulan sekali, masih banyak posisi kosong. Rata-rata yang terserap hanya 25% dari lowongan yang ditawarkan. Kenapa demikian, karena saat ini banyak lowongan yang tidak terisi karena kompetensi pencari kerja tidak sesuai yang dibutuhkan,” ujar Erman Suparno saat membuka Job Fair di GOR Delta Sidoarjo kemarin.


Menurut Erman, seharusnya angkatan kerja bisa memanfaatkan bursa kerja dan setiap lowongan bisa terisi. Dengan catatan para pencari kerja itu punya skill sesuai tuntutan dunia kerja. Untuk meningkatkan kemampuan bersaing ini, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menjalin kerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dengan memperbanyak sekolah kejuruan. “Kurikulum sekolah akan disesuaikan dengan kompetensi di lapangan.
Sehingga, ketika siswa lulus sudah siap kerja,” ujar Erman.

Perguruan Tinggi Terlalu Kaku


Menanggapi fenomena yang kurang baik ini, Ketua Dewan Pendidikan Jatim Zainuddin Maliki menilai, lulusan Diploma dan S-1 atau sarjana penuh memang dipersiapkan untuk jadi tenaga akademisi. Karena itu, tak heran kalau mereka gagal memanfaatkan kesempatan masuk di dunia kerja di luar lingkup akademisi, seperti di perusahaan maupun pabrik.


Kondisi seperti itu, lanjut Zainuddin, disebabkan karena beberapa perguruan tinggi (PT) di Jatim maupun Indonesia tidak mempersiapkan mahasiswanya agar memiliki life skill. Apalagi proses pembelajaran di tingkat Diploma dan S-1 terlalu kognitif. Tidak ada praktik di lapangan.


”Sebab seperti itu yang membuat SDM kita lemah ketika diadu untuk masuk di dunia kerja,” ujar Zainuddin. Pakar Pendidikan Jatim Dr Dra Eny Haryati Msi menambahkan, PT memang harus menggandeng perusahaan untuk tempat praktik mahasiswanya. Intensitas tidak hanya satu atau dua bulan saja.


Minimal beberapa semester mereka bisa mengembangkan ilmunya di lapangan. ”Mahasiswa juga bisa memperoleh pengalaman baru kalau terjun langsung di lapangan. Teori di buku juga sering berbeda ketika dipraktikkan langsung,” ucapnya. (abdul rouf/aan haryono)


di kutip dari Harian SINDO (www.seputar-indonesia.com) Kamis, 23 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar